Senin, 27 Februari 2017

KUASA (GB)


Dasar hukum Pemberian Kuasa dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1792 hingga Pasal 1819.

Pengertian pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata yang berbunyi:

Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.”

Bentuk pemberian kuasa tersebut berdasarkan Pasal 1793 KUHPerdata dapat berupa akta umum, surat di bawah tangan, atau secara lisan. Isi dari kuasa sendiri dapat berupa sesuatu yang khusus, atau pun secara umum, yaitu meliputi semua kepentingan pemberi kuasa, sesuai dengan Pasal 1795 KUHPerdata. Bentuk pemberian kuasa yang paling umum digunakan dalam dunia hukum adalah berbentuk surat di bawah tangan, dengan isi mengenai sesuatu yang khusus, yaitu sebagai berikut:
       -    Bagian komparisi, berisi:
            o   Identitas para pihak (pemberi kuasa dan penerima kuasa);
            o   Kewenangan masing-masing pihak untuk memberi atau menerima kuasa.
       -   Garis pembatas dengan tulisan “KHUSUS” di tengahnya;
       -   Bagian maksud dan tujuan kuasa:
            o   Tujuan diberikannya kuasa dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa berupa hal yang spesifik,          contohnya kuasa untuk melakukan pengurusan penjualan tanah, mewakili dalam persidangan,                mewakili dalam mendaftarkan merek, dan sebagainya.
        -   Bagian kewenangan yang diberikan
          o   Seorang penerima kuasa mendapatkan setidaknya lima macam kewenangan, yaitu untuk bertemu (menghadap instansi/badan berwenang), berbicara (memberikan dan mendengarkan keterangan-keterangan), surat (membuat, menandatangani, mengajukan,  menyerahkan, meminta dan/atau menerima surat-surat), bukti (meminta, memberikan, menunjukkan, meminta ditunjukkan atau menolak bukti-bukti), dan lainnya (secara umum menjalankan perbuatan-perbuatan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa).

Kewenangan yang dimiliki penerima kuasa terbatas kepada kewenangan yang diatur dalam surat kuasa tersebut, dan penerima kuasa dilarang untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan apa pun yang melampaui kuasanya sesuai Pasal 1797 KUHPerdata.

Surat kuasa khusus yang mengatur mengenai suatu kepentingan tertentu diatur dalam ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus. Isi dari SEMA tersebut adalah sebagai berikut:

1. Surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut Undang-Undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya:
a)      dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai Penggugat dan B sebagai Tergugat, misalnya dalam perkara waris atau hutang piutang tertentu dan sebagainya.
b)      dalam perkara pidana harus dengan jelas dan lengkap menyebut pasal-pasal KUHP yang didakwakan kepada terdakwa.
2.      Apabila dalam surat kuasa khusus disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan pada tingkat banding dan kasasi maka surat kuasa khusus tersebut tetap sah berlaku hingga pemeriksaan pada tingkat kasasi tanpa diperlukan surat kuasa khusus yang baru.

Kuasa untuk mewakili dalam persidangan oleh penasihat hukum/advokat dalam ranah hukum perdata didasarkan pada Pasal 123 ayat (1) HIR/147 ayat (1) RBg sebagaimana berbunyi:

Jika dikehendakinya, maka kedua belah pihak itu boleh dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang dikuasakannya kalau orang yang memberi kuasa itu ada hadir sendiri. Orang yang mendakwa dapat juga memberi kuasa itu pada surat permintaan yang ditandatanganinya dan dimasukkan menurut ayat satu pasal 118 atau pada tuntutan yang dilakukan secara lisan menurut pasal 120; dan dalam hal tersebut kemudian ini yang demikian itu disebutkan dalam catatan yang dibuat tentang tuntutan itu.

Sedangkan dalam ranah hukum pidana ketentuan mengenai kuasa tersebut tercantum dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP, yang mengatur kewajiban didampingi penasihat hukum/advokat dalam hal terdakwa diancam pidana penjara selama 5 (lima) tahun atau lebih. Pasal 56 ayat (1) KUHAP berbunyi sebagai berikut:

Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

Dalam ranah hukum tata usaha negara, ketentuan serupa mengenai kewenangan memiliki kuasa diatur dalam Pasal 57 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi:

“(1) Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa.
(2)   Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat dilakukan secara lisan di persidangan.
(3)   Surat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan di negara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.

Pengakhiran kuasa diatur dalam Pasal 1813 KUHPerdata, yaitu berakhir karena:
-          Penarikan kembali oleh pemberi kuasa (disertai pemberitahuan penghentian kepada penerima kuasa);
-          Meninggalnya salah-satu atau kedua pihak;
-          Ada kuasa baru yang mengatur hal yang sama; atau
-          Pengampuan atau pailitnya salah satu atau kedua pihak.
-          Perempuan sebagai pemberi kuasa kawin (ketentuan ini telah dihapus)

Pengakhiran kuasa karena ditarik kembali oleh pemberi kuasa berlaku secara sepihak, sehingga dilakukan tanpa perlu adanya persetujuan penerima kuasa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1814 KUHPerdata.

Dalam praktik, seringkali muncul istilah surat kuasa mutlak/kuasa mutlak, yang merupakan suatu kewenangan yang diberikan kepada penerima kuasa, namun kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh pemberi kuasa, melainkan perlu persetujuan penerima kuasa. Tidak ada ketentuan apa pun yang mengatur mengenai surat kuasa mutlak/kuasa mutlak dalam KUHPerdata. Akan tetapi, pengaturan mengenai definisi dan larangan penggunaan surat kuasa mutlak/kuasa mutlak ini diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Dengan adanya ketentuan tersebut, surat kuasa mutlak/kuasa mutlak dilarang secara khusus dalam bidang pertanahan. Selain dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut, surat kuasa mutlak juga dilarang dalam jual beli tanah sesuai Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah:

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menolak pembuatan akta jika salah satu pihak bertindak atas dasar surat kuasa mutlak yang berisikan perbuatan hukum pemindahan hak.”

Ketentuan larangan surat kuasa mutlak/kuasa mutlak tersebut juga telah diimplementasikan dalam putusan pengadilan, yaitu dalam Putusan MARI No. 3176 K/Pdt/1988 dan Putusan MARI No. 199 K/TUN/2000, yang menyatakan sebagai berikut:

1. Istilah hukum “Akta Pemindahan Kuasa” isinya, penerima kuasa memiliki kuasa atas tanah-tanah yang disebutkan dalam kuasa tersebut.
2. “Akta Kuasa” atau “Akta Pemindahan Kuasa” yang isinya demikian ini adalah sama dengan “Akta Kuasa Mutlak” tentang perolehan hak atas tanah dari pemilik tanah kepada pihak lain. Menurut Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 Jo. No. 12 Tahun 1984, hal tersebut adalah dilarang, karena dinilai sebagai suatu penyeludupan hukum dalam “perolehan hak atas tanah”. Disamping itu juga merupakan pelanggaran/penyimpangan Pasal 1813 B.W.

Terdapat satu ketentuan yang memperbolehkan, bahkan mewajibkan adanya surat kuasa mutlak/kuasa mutlak sebagaimana dimaksud dalam pengertian diatas, yaitu dalam Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang berbunyi sebagai berikut:

Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).

Oleh karena itu, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dapat diklasifikasikan sebagai surat kuasa mutlak.


Sumber:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt537ec63598d49/pemberian-kuasa-mutlak-dari-developer-untuk-menjualkan-tanah

Senin, 13 Februari 2017

PROSEDUR SIDANG PERDATA (DP)

PENGAJUAN GUGATAN
Pasal 118 HIR / 124 RBg :
  1. Gugatan perdata yang dalam tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan Negeri, harus diajukan dengan sarat gugatan, yang di tandatangani oleh penggugat atau kuasanya yang sah menurut Pasal 123 HIR/ 147 RBg, kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal tergugat, jika tidak diketahui tempat tinggalnya, di tempat tergugat sebenarnya berdiam (berdomisili).
  2. Jika tergugat lebih dari satu, sedangkan mereka tinggal dalam daerah hukum yang sama, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal salah seorang tergugat menurut pilihan penggugat.
  3. Jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui dan domisilinya juga tidak diketahui, maka gugatan itu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal Penggugat atau salah satu Penggugat.
  4. Jika gugatan itu tentang benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya terletak benda tidak bergerak itu.
  5. Apabila telah ditentukan bersama oleh kedua belah pihak dalam suatu akta, maka penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukum yang telah dipilih tersebut.
  6. Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk memberikan nasehat dan bantuan kepada Penggugat atau kuasanya tentang hal cara mengajukan gugatan (Pasal 119 HIR/ 143 RBg).
GUGTAN LISAN
Pasal 120 HIR/ 144 RBg :

Bilamana Penggugat tidak dapat menulis, maka gugatan dapat diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat gugatan tersebut. Catatan dalam ketentuan RBg, mengajukan gugatan secara lisan, tidak boleh dilakukan oleh orang yang dikuasakan.

NOMOR PERKARA
Pasal 121 HIR/ 145 RBg :

Setelah Penggugat memasukkan surat gugatan ke Pengadilan Negeri, maka dalam mendaftarkan perkara tersebut, kewajiban Penggugat adalah membayar sejumlah uang sebagai ongkos perkara yang besarnya untuk sementara diperkirakan oleh Ketua Pengadilan Negeri mengingat tempat tinggal para pihak dan digunakan untuk ongkos Panitera (juru sita) melakukan panggilan serta pemberitahuan, materai yang akan digunakan, setelah dibayarnya biaya perkara itubaru perkaranya didaftarkan dan diberi nomor. Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan untuk memanggil kedua belah pihak (Penggugat dan Tergugat) untuk menghadiri sidang yang telah ditetapkan.

PEMANGGILAN
Pasal 122 HIR/ 146 RBg

Pada waktu menentukan hari persidangan, Ketua/Majelis Hakim ditunjuk harus mempertimbangkan jarak tempat tinggal para pihak dengan tempat persidangan dilakukan.

KUASA / WAKIL
Pasal 123 HIR/ 147 RBg :

Untuk bertindak sebagai kuasa/wakil dari Penggugat/Tergugat pemohon, seseorang harus memenuhi syarat-syarat :
  1. Mempunyai surat kuasa khusus yang harus diserahkan dipersidangan, atau pemberian kuasa disebutkan dalam surat gugatan permohonan, atau kuasa/wakil yang ditunjuk oleh pihak yang berperkara didalam persidangan secara lisan.
  2. Telah terdaftar sebagai advokat/pengacara sesuai dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU tentang Advokat (UU No. 18 Tahun 2003). 
  3. Mempunyai surat kuasa khusus yang bersifat Insidentil (ada hubungan kekeluargaan yang sangat dekat) dibuktikan ada surat keterangan dari Kepala Desa diketahui Camat, tentang adanya hubungan kekeluargaan tersebut.
  4. Untuk tingkat Banding atau Kasasi yang diajukan oleh kuasa/wakil dari pihak yang bersangkutan harus dilampiri surat kuasa khusus untuk pengajuan tersebut atau surat kuasa yang dipergunakan di Pengadilan Negeri telah menyebutkan pemberian kuasa pula untuk mengajukan Banding atau Kasasi.
  5. Untuk menjadi kuasa dari pihak Tergugat juga berlaku hal-hak tersebut diatas.
  6. Kuasa/Wakil Negara/Pemerintah dalam suatu perkara perdata, sesuai Pasal 123 Ayat (2) HIR / Pasal 147 Ayat (2) RBg adalah : 
          a. Pengacara Negara yang diangkat oleh Pemerintah,
          b. Jaksa,
          c. Orang tertentu atau pejabat yang diangkat/ditunjuk oleh Instansi-instansi yang bersangkuta.

Jaksa tidak perlu menyerahkan surat kuasa khusus, pejabat/orang yang diangkat/ditunjuk oleh instansi yang bersangkutan, cukup hanya menyerahkan salinan surat pengangkatan/penunjukkan, yang tidak bermaterai.

PERKARA GUGUR
Pasal 124 HIR/ 148 RBg :
  1. Apabila pada hari sidang pertama Penggugat atau semua Penggugat tidak datang, meskipun telah dipanggil secara patut juga tidak mengirimkan kuasanya yang sah, sedangkan Tergugat kuasanya datang, maka Gugatan digugurkan dan Penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara. Tetapi Penggugat dapat mengajukan Gugatannya sekali lagi dengan membayar biaya perkara lagi. Apabila telah dilakukan sita jaminan, sita tersebut juga ikut gugur.
  2. Tetapi dalam keadaan tertentu, misalkan tempat tinggal Tergugat jauh dan ia mengirimkan kuasanya, namun surat kuasa tidak memenuhi syarat, Hakim boleh mengundurkan pemeriksaan dan menyuruh juru sita memanggil sekali lagi, untuk datang diberitahukan disidang agar ia menghadap lagi tanpa panggilan pada hari yang telah ditetapkan di persidangan.
  3. Jika Penggugat pada hari sidang pertama tidak datang, meskipun ia telah dipanggil patut, tetapi pada sidang kedua ia datang dan pada sidang ketiga ia tidak datang lagi, perkara tidak bisa digugurkan, pemeriksaan diteruskan dengan pemeriksaan dari pihak Tergugat.
      PUTUSAN VERSTEK
      Pasal 125 HIR/ 149 RBg :
  1.      Apabila pada hari sidang pertama dan pada hari sidang ke dua Tergugat atau semua Tergugat tidak datang, padahal telah dipanggil secara patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah, sedangkan Penggugat/semua Penggugat selalu datang, maka perkaranya akan diputus verstek.
  2.       Meskipun Tergugat tidak hadir pada sidang pertama atau tidak mengirimkan kuasanya yang sah, tetapi ia mengajukan jawaban tertulis berupa tangkisan tentang tidak berwenangnya Pengadilan (Eksepsi) maka putusan tidak diputus verstek. Pengadilan Negeri wajib memberikan putusan atas tangkisan dan diberitahukan kepada kedua belah pihak.
  3.    Jika Eksepsi (tangkisan) itu diterima secara putusan verstek, maka atas perintah Ketua Pengadilan diberitahukan putusan kepada pihak yang dikalahkan, serta dijelaskan kepadanya, bahwa ia berhak mengajukan perlawanan (Verzet) terhadap putusan tak hadir itu kepada Pengadilan dalam tempo dan cara dalam Pasal 219 HIR.

      TANGKISAN/EKSEPSI
      Pasal 136 HIR/ 162 RBg :

  1.      Tangkisan atau eksepsi yang diajukan oleh Tergugat, diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkaranya, kecuali jika eksepsi itu mengenai tidak berwenangnya Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara tersebut, jadi eksepsi atau perlawanan itu hanya mengenai acara belaka.
  2.          Macam-macam eksepsi/tangkisan/perlawanan   :
         a.  Wewenang Mutkal (Absolut) Pasal 134 HIR
        Pengadilan Negeri karena jabatannya harus menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa perkara tersebut. Tidak tergantung ada atau tidaknya eksepsi dari Tergugat. Menyatakan diri tidak berwenang ini dapat dilakukan pada semua tingkatan pemeriksaan, juga dalam tingkat Banding, Kasasi. Jadi perlawanannya berisi bahwa Pengadilan tidak berkuasa mengadili, dikenal dengan Declinatoir Exeptie.
         b. Wewenang Relatif, Pasal 125 dan 133 HIR
      Apabila Tergugat pada hari sidang pertama tidak mengajukan tangkisan/eksepsi tentang wewenang relatif, yaitu alasan-alasan tersebut dalam Pasal 118 HIR. Karena berdasarkan Pasal 133 HIR/Pasal 159 RBg, bahwa eksepsi kewenangan relatif harus diajukan pada permulaan sidang, apabila diajukan terlambat, Hakim dilarang untuk memperhatikan eksepsi tersebut. Contoh nyata eksepsi relatif ini antara lain :


    1. Dilatoir Exeptie (eksepsi prematur) yaitu perlawanan bahwa tuntutannya belum sampai  waktunya untuk diajukan, karena masih ada surat perjanjian yang belum terpenuhi atau karena batas jangka waktu yang dijanjikan belum lewat.

    2.  Paremtoire Exeptie (perlawanan belum lewat waktu/ Veryaard) misalnya karena perkaranya sudah usai atau daluarsa atau karena telah ada keputusan Pengadilan yang tidak dapat digugat lagi atau Tergugat dibebaskan dari hutangnya, atau telah ada perhitungan hutang.

    PENCABUTAN SURAT GUGATAN
    HIR tidak mengatur, tapi ada didalam Pasal 271 dan 272 RV

    Gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkaranya belum diperiksa. Tetapi jika perkaranya telah diperiksa dan Tergugat telah memberikan jawabannya, maka pencabutan perkara harus dapat persetujuan Tergugat.
    Perubahan dan/atau penambahan surat gugatan diperkenankan, asal dilakukan dilakukan pada hari sidang pertama dimana para pihak hadir, tetapi hal tersebut harus ditanyakan pada pihak lawannya guna pembelaan kepentingannya.
    Perubahan dan/atau penambahan gugatan tidak boleh sedemikian rupa, sehingga dasar pokok gugatan menjadi lain dari materi yang menjadi sebab perkara antara kedua belah pihak tersebut. Dalam hal demikian maka surat gugatan harus di cabut.

    PERDAMAIAN
    Pasal 130 HIR/ Pasal 154 RBg :
       
    a.  Jika kedua belah pihak hadir di persidangan, hakim harus berusaha mendamaikan mereka. Usaha itu tidak terbatas pada hari sidang pertama saja, melainkan dapat diusahakan meskipun pemeriksaan telah berlanjut.
    b.  Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuatlah akta perdamaian, yang harus dibacakan terlebih dahulu oleh hakim dihadiri oleh kedua belah pihak, sebelum hakim menjatuhkan putusan yang menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi perdamaian itu.
    c.  Akta perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dan apabila tidak dilaksanakan, eksekusi dapat dimintakan kepada Ketua PN yang bersangkutan.
    d.    Terhadap putusan perdamaian tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum banding.
    e.   Jika usaha perdamaian itu tidak berhasil, hal itu harus dicatat dalam berita persidangan, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan (Pasal 131 HIR).
    f.     Khusus untuk gugatan cerai, jika dalam perkawinan itu ada anak, sedapat mungkin suami isteri hadir.
    Apabila usaha perdamaian berhasil, gugatan harus dicabut. Sehubungan dengan perdamaian ini tidak bisa dibuat akta perdamaian. Dan jika usaha damai gagal maka pemeriksaan diteruskan dengan sidang tertutup.

            Catatan   :
    Khusus Lembaga Perdamaian (Pasal 130 HIR) Pemerintah dalam hal ini Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan PERMA RI Nomor 2 Tahun 2003 tentang ProsedurMediasi di Pengadilan. Adapun pertimbangannya yaitu :

       1. Mengurangi masalah penumpukan perkara.
       2. Merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap lebih murah dan cepat.
       3. Memaksimalkan fungsi Lembaga Perdamaian.

          PENGGABUNGAN/ KUMULASI PERKARA  
    1.       Beberapa gugatan dapat digabungkan menjadi satu, apabila antara gugatan-gugatan yang digabungkan itu, terdapat hubungan erat atau ada koneksitas. Hubungan erat ini harus dibuktikan berdasarkan fakta-faktanya.
    2.      Penggabungan gugatan diperkenankan apabila menguntungkan proses, yaitu apabila antara gugatan yang digabungkan itu ada koneksitas dan penggabungan akan memudahkan pemeriksaan, serta akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling bertentangan.

    VOEGING, INTERVENTIE (TUSSENKOMST) DAN VRIJWARNING :
    1.    HIR/RBG tidak mengenal voeging, interventie, vrijwaring, tetapi bila benar-benar dibutuhkan dalam praktek sedang belum ada kaedah hukum yang mengaturnya, ketiga lembaga ini dapat dipergunakan dengan berpedoman kepada RV (Rechtrechement Rechvoerderijng) Pasal 279 RV. Karena pada dasarnya hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materil maupun hukum formil.
    2.   Putusan hakim bertujuan untuk memberikan penyelesaian terhadap perkara yang sedang diadilinya, sehingga apabila perkara tersebut menyangkut pihak yang lain dari pada Penggugat dan Tergugat, maka hakim atas permintaan pihak ke tiga dapat mengabulkan pihak ke tiga itu untuk ikut serta dalam proses, sehingga Hakim dapat memberikan putusan bagi semua orang yang berkepentingan. 
    3.    .Voeging terjadi apabila dalam sidang dating pihak ke tiga dan mengajukan permohonan untuk bergabung pada Penggugat atau Tergugat. Voeging itu oleh hakim dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela.
    4.      Interventie (Tussenkomst), terjadi :
          a.    Apabila pihak ke tiga merasa mempuyai kepentingan yang akan terganggu, jika ia tidak ikut dalam proses perkara itu.
        b.    Misalnya dalam Interventie barang yang diperebutkan antara Penggugat dan tergugat itu adalah barang milik intervenient. Untuk mendapatkan barang itu dan agar barang itu dinyatakan sebagai miliknya, maka interventie diajukan. Interventie dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela.

        5.   Vrijwaring, adalah penarikan pihak ke tiga untuk bertanggung jawab, Vrijwaring diajukan dengan suatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara. Misalnya Tergugat digugat oleh Penggugat, karena barang yang dibeli oleh Penggugat mengandung cacat yang tersembunyi. Sedangkan Tergugat membeli barang itu dari pihak ke tiga. Maka Tergugat menarik pihak ketiga ini, agar bertanggung jawab atas cacat itu.

    GUGATAN DALAM REKONPENSI (GUGAT BALIK/ GUGAT BALAS) :

    a. Gugatan rekonpensi harus diajukan bersama-sama dengan jawabannya baik dengan tertulis maupun lisan (Pasal 32 huruf a HIR) dalam segala perkara, kecuali :

    1. Semula dalam perkara itu bukan bertindak untuk diri sendiri, sedangkan gugatan balas ditujukan kepada dirinya sendiri.
    2. Apabila PN tidak mempunyai wewenang mutlak.
    3. Dalam perkara perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim.

    b. Jika dalam pemeriksaan pada tingkat pertama tidak diajukan gugatan balas/balik, maka dalam tingkat Banding tidak dapat diajukan lagi.
    c. Kedua gugatan (dalam konpensi dan dalam rekonpensi) diperiksa bersama-sama dan diputus dalam satu putusan.
    d.  Apabila gugatan konpensi di cabut, maka gugatan rekonpensi tidak dapat dilanjutkan.

    PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK 


    1. Pasal 129 HIR/ 153 RBg memberi kemungkinan bagi Tergugat/para Tergugat yang dihukum  dengan Verstek untuk mengajukan perlawanan atau verzet.
    2. Kedua perkara tersebut dijadikan satu dan diberi satu nomor.
    3. Sedapat mungkin perkara tersebut dipegang oleh majelis hakim yang sama, yaitu yang telah  menjatuhkan putusan Verstek.

          SITA JAMINAN (CONSERVATOIR) :
          Pasal 227 HIR/ 261 RBg
        
    1. Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim/ketua majelis, hakim sebelum atau selama proses pemeriksaan berlangsung, hakim ketua majelis membuat surat penetapan. Pelaksanaan Penyitaan dilaksanakan oleh juru sita/Panitera PN dengan dua orang pegawai PN sebagai saksi.
    2.   Ada dua macam sita jaminan :
            a.  SITA CONSERVATOIR (Terhadap hak milik TERGUGAT) Pasal 227 :
    1.Harus ada sangkaan yang beralasan, bahwa Tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan Penggugat.
    2. Yang disita adalah barang bergerak dan barang yang tidak bergerak milik Tergugat.
    3. Apabila yang disita adalah TANAH, maka harus dilihat secara seksama, bahwa tanah tersebut adalah milik Tergugat dan luas serta batas-batasnya harus disebutkan dengan jelas.
    4. Penyitaan atas tanah harus dicatat dalam buku tanah yang ada di desa dan jika sudah ada sertifikatnya harus didaftarkan di kantor Pertanahan Daerah tingkat II Kotamadya/Kabupaten.
    5. Sejak tanggal pendaftaran sita itu, tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan atau menjaminkan tanah yang disita itu.
    6. Apabila gugatan dikabulkan, sita jaminan dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim dalam amar putusannya. Jika Gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita diperintahkan untuk diangkat.
    7. Sita jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang milik negara dilarang, kecuali seizin dari Mahkamah Agung, setelah mendengar Jaksa Agung (Pasal 65 dan 66 ICW).
     b. SITA REVINDICATOIR (Pasal 226 HIR/ 260 RBg) :
    1. Yang disita adalah barang bergerak milik Penggugat yang dikuasai/dipegang oleh Tergugat,
    2. Gugatan diajukan untuk memperoleh kembali hak atas barang tersebut.
    3. Barang yang dimohonkan sita harus disebutkan dengan jelas terperinci, dengan menyebutkan ciri-cirinya dalam gugatan.
    4. Apabila dalam gugatan dikabulkan untuk seluruhnya, sita Revindicatoir dinyatakan sah dan berharga dan Tergugat dihukum untuk meyerahkan barang tersebut kepada Penggugat.

    SITA EKSEKUSI :

    Ada dua macam sita eksekusi :
    1. Sita Eksekusi yang Langsung :
    Sita ini diletakkan atas barang bergerak dan tidak bergerak milik Debitur atau pihak yang kalah, yaitu:
    a. Sehubungan dengan pelaksanaan Grosse akta pengakuan hutang yang berkepala “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” atau pelaksanaan grosse akta hipotik (berfungsi sebagai grosse akta hipotik adalah sertifikat hipotik yang diekluarkan oleh Kepala  kantor Pertanahan Daerah tingkat II Kotamadya yang bersangkutan Pasal 7 Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 dan Pasal 14 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 jo Peraturan Pemerintah  Nomor ... Tahun 1997.
    b.   Sita eksekusi lanjutan, jika barang-barang yang disita sebelumnya dengan sita Conservatoir, yang dalam rangka eksekusi telah berubah menjadi sita eksekusi dan lelang, hasilnya tidak cukup untuk membayar uang yang harus dibayar berdasarkan putusan pengadilan, maka akan dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap barang-barang milik Tergugat, untuk kemudian di lelang.

    2. Sita Eksekusi yang Tidak Langsung :
    Adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah menjadi sita eksekusi.
    Dalam rangka eksekusi dilarang untuk menyita hewan atau perkakas yang benar-benar dibutuhkan oleh tersita untuk mencari nafkah (Pasal 197 ayat 8 HIR).


    PUTUSAN SERTA-MERTA (UIT VOORBAARD BIJ VOORAAD :
    Pasal 180 HIR :

    1. Putusan serta-merta dapat diajukan, setelah secara seksama telah dipertimbangkan alasan-alasannya sesuai ketentuan, yurisprudensi tetap dan doktrin yang berlaku.
    2. Syarat-syarat untuk dapat mengajukan putusan serta-merta :
    a.  Surat bukti yang diajukan sebagai bukti untuk membuktikan dalil gugatan adalah sebuah akta otentik atau akta dibawah tangan yang diakui isi dan tanda tangannya oleh Tergugat.
    b.  Putusan didasarkan atas suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
    c.  Apabila dikabulkan suatu gugatan Provisional.
    d.  Apabila obyek gugatan adalah barang milik Penggugat yang dikuasai oleh Tergugat.         
    3. Dipertimbangkan terlebih dahulu apakah gugatan secara formil telah memenuhi syarat.
    4. Telah dilakukan sita jaminan terhadap barang-barang milik Tergugat atau barang-barang tertentu milik Penggugat yang dikuasai oleh Tergugat.
    5. Putusan Provisional jika dikabulkan karena sifatnya serta-merta dapat dilaksanakan, meskipun terhadap putusan itu diajukan perlawanan (verzet terhadap putusan verstek, banding atau kasasi).
    6. Putusan serta-merta hanya bisa dilaksanakan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua PN dari PN yang bersangkutan (Pasal 195 HIR).
    7. Putusan tersebut hanya dapat dilaksanakan setelah Ketua Pengadilan Negeri mendapat izin dari Ketua Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung (SEMA RI Nomor 16 Tahun 1969, SEMA RI Nomor 3 Tahun 1971, SEMA RI Nomor 3 Tahun 1978 dan SEMA RI Nomor 3 Tahun 2000).
    8. Untuk pelaksanaan eksekusi putusan serta-merta atau putusan Provosional, Ketua PN yang bersangkutan dapat minta suatu jaminan berupa barang atau uang yang jumlahnya diserahkan kepada kebijaksanaan Ketua PN. Apabila berupa uang harus disimpan di Bank Pemerintah.

    PERBUATAN MELAWAN HUKUM (ONRECHMATIGE DAAD)
    Pasal 1365 KUHPerdata :
    Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang yang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

    Maka unsur melawan hukum yang paling penting dan paling sulit. Sedangkan unsur-unsur lainnya seperti : unsur kerugian, adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian dan unsur kesalahan pada pelaku perbuatan tersebut tidaklah begitu membingungkan.
    Pasal 1365 KUHPerdata, menurut rumusannya tidak membedakan berlakunya antara orang dewasa dengan badan hukum, juga tidak membedakan antara badan hukum privat maupun badan hukum publik.
    Perkembangan pengertian perbuatan melawan hukum tersebut telah berisi suatu defenisi perbuatan melawan hukum bilamana :
    1. Melanggar suatu hak orang lain.
    2. Melanggar Kewajiban hukum dari sipelaku perbuatan tersebut.
    3. Melanggar kesusilaan.
    4. Melanggar kepatutan yang berlaku dalam masyarakat terhadap orang atau barang orang lain.

    PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG FILAKUKAN OLEH PENGUASA (ONRECHMATIGE OVER HEIDSDAAD)

    Jika ada perbuatan melawan hukum oleh penguasa, maka sikap hakim adalah :
    1. Tidak perlu memperhatikan tentang politik maupun baik buruknya perbuatan penguasa yang bersangkutan.
    2. Hakim hanya mempersoalkan sah tidaknya legalitynya melawan hukum tidaknya perbuatan penguasa.
    3.  Hakim juga harus dapat membedakan antara kekeliruan batas-batas kebebasan dan kewenangan penguasa.
    Akhirnya untuk perbuatan melawan hukum oleh penguasa selain unsur-unsur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, juga harus diperhatikan unsur-unsur lain yaitu :
    1. Secara faktual adanya kerugian ditimbulkan bagi Penggugat.
    2. Adanya hubungan kausal antara perbuatan yang bersifat melawan hukum dengan kerugian tersebut.
    3. Dipenuhinya adanya unsur kesalahan pada pelaku perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut. 

    EKSEPSI ADALAH :
    Bantahan Tergugat untuk menangkis tuntutan penggugat, yang tidak mengenai Pokok Perkara, akan tetapi jika berhasil dapat menyudahi pemeriksaan atau mengandaskan gugatan.
    Eksepsi juga merupakan salah satu jawaban Tergugat selain jawaban Pokok Perkara dan Rekonvensi.

    JENIS EKSEPSI MENURUT PENGATURANNYA :
           1. Eksepsi Prosesuil (eksepsi yang diatur dalam hukum acara perdata), menurut sifatnya eksepsi ini terdiri dari :
    a.  Eksepsi  Peremtoir (Premptoire Exeptie) adalah eksepsi yang bersifat menyudahi, misalnya tergugat menyatakan Gugatan Res Judicata (satu perkara tidak boleh diajukan dua kali).
    b.   Eksepsi Deklinatoir (Declinatoire Exeptie) adalah eksepsi yang bersifat mengelakkan,  misalnya eksepsi yang menyatakan gugatan diajukan pada Pengadilan yang tidak berwewenang, baik tidak berwenang mengadili menurut Kompetensi Absolut (Pasal 134 HIR) maupun Kompetensi Relatif (Pasal 113 HIR). Disini tergugat mengelak dari kompetensi Pengadilan. Apabila dikabulkan maka gugatan tersebut diputus tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard/ NO). Tapi Penggugat dapat mengajukan baru pada Pengadilan yang berwenang.
    c.   Eksepsi Diskualifikatoir (Disqualificatoire Exeptie) adalah eksepsi yang sifatnya mendiskualifikasi kedudukan pihak berperkara, dengan mengatakan Penggugat dan/atau tidak mempunyai kedudukan sebagaimana dimaksudkan dalam gugatan. Misalkan Penggugat menggugat atas nama suatu Perseroan Terbatas, padahal ia bukan direkturnya, maka Tergugat dapat mengajukan eksepsi, bahwa Penggugat tidak berwenang mewakili, contoh lain, tergugat digugat padahal bukan ia yang pinjam melainkan saudaranya.
    Termasuk disqualificatoire exeptie adalah eksepsi yang menyatakan gugatan penggugat kurang dalam meyebut pihak penggugat dan/atau tergugat, yaitu apabila dalam sengketa tersebut terdapat subyek hukum yang belum dimasukkan sebagai pihak Penggugat dan/atau pihak Tergugat.
    d.    Eksepsi Obscur libel (Obscure Libel Exeptie) adalah eksepsi yang didasarkan pada dalil Gugatan Penggugat gelap atau samar-samar. Menurut RV suatu Surat Gugatan terdiri dari sua bagian, yaitu Fundamentum Petendi (yang berisi uraian peristiwa dan dasar hukum gugatan) serta Petitum (apa yang dituntut). Fundamentum Petendi harus memenuhi syarat Jelas dan Lengkap, sedangkan Petitum harus memenuhi syarat Terang dan Pasti. Apabila gugatan tidak memenuhi nya maka gugatan tersebut adalah obscure libel/samar-samar.
    e. Eksepsi Chicaneus Process (Chicaneus Process Exeptie) adalah eksepsi yang menyatakan proses apus-apusan. Yaitu berupa Gugatan yang diajukan dengan tanpa adanya sengketa hukum yang melandasi Gugatan tesebut. Dengan kata lain antara penggugat dengan tergugat tidak pernah terjadi sengketa hukum.

           2. Eksepsi Materiil (yang berdasarkan ketentuan materil), jenisnya :
    a. Dilatoire Exeptie (Exeptie Dilatoir) yaitu Eksepsi yang sifatnya menunda atau menangguhkan. Misalnya mengajukan eksepsi yang berbunyi : gugatan belum tiba saatnya, karena tergugat harus mengembalikan pinjaman tanggal 1 Agustus 2011, sekarang baru tanggal 1 April 2011. Apabila dikabulkan maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima / NO.
    b.  Premptoire Exeptie (Eksepsi Peremptoir) yaitu eksepsi yang bersifat menyudahi. Misalkan Tergugat menyatakan gugatan sudah lewat waktu (daluarsa), apabila hakim menyetujui maka hakim memutus gugatan ditolak (weigere), maka perkara selesai dalam arti tergugat tidak bisa menggugat lagi. Jika dikabulkan gugatan dinyatakan NO.
    c.  Gugatan Penggugat tidak didukung oleh fakta atau peristiwa, sifat eksepsi ini adalah Eksepsi Chicaneus Process, jika antara penggugat dengan tergugat tidak pernah terjadi peristiwa atau perbuatan sebagaimana diuraikan dalam gugatan. Jika dikabulkan gugatan ditolak dan tidak dapat mengajukan gugatan baru.
        
         Mengenai daluarsa (verjaaring) ada yang memasukkannya ke dalam kategori pokok perkara, bukan eksepsi. Jenis daluarsa :
          1.    Jangka Panjang : yaitu seorang menempati sebidang tanah dapat menjadi pemilik tanah tersebut kalau sudah menempatinya selama 30 tahun tanpa ada gangguan (Pasal 1963 jo. 1967 KUHPerdata).
           2.   Jangka Pendek : yaitu seorang menginap dan makan pada suatu rumah penginapan sekaligus rumah makan. Tuntutak pembayaran hanya dapat diajukan dalam waktu satu tahun (Pasal 1968 Ayat (2) KUHPerdata).


    TEKHNIK MENGAJUKAN EKSEPSI :

    Menentukan Kompetensi
    Kompetensi relatif diajukan  tidak boleh didahului oleh jawaban yang lain karena terikat ketentuan Pasal 133 HIR, apabila diajukan terlambat maka eksepsi tersebut akan ditolak karena terlambat (tardieft).
    Kompetensi absolut dapat diajukan kapanpun (Pasal 134 HIR).

    Menganalisis Isi Gugatan
    Gugatan harus berisi fundamentum petendi yang memuat peristiwa dan dasar hukumnya yang bersifat jelas dan lengkap. Dan berisi petitum yang memuat apa yang dituntut yang bersifat terang dan pasti.
    Apabila uraian fundamentum petendi tidak jelas dan lengkap, atau petitumnya tidak terang dan pasti, maka tergugat dapat mengajukan eksepsi yang isinya gugatan obscure libel/gugatan gelap/samar-samar.

    Menganalisis Pihak
          1.    Pencatuman Pihak Secara Lengkap, jika para pihak yang diajukan tidak lengkap, maka tergugat dapat mengajukan eksepsi gugatan kurang dalam menyebut pihak.
          2.   Kedudukan Hukum Para Pihak, dilihat apakah seorang bertindak sendiri untuk dirinya sendiri (in person) atau bertindak sebagai wakil.
        Apabila bertindak sebagai wakil, maka harus diperhatikan kedudukan hukumnya untuk mewakili, sehingga perlu memperhatikan tentang perwakilan (vetegen wodiging).
    Menurut Hukum Perdata, perwakilan terjadi dalam hal seorang yang tidak cakap berbuat hukum (onbekwaan), orang yang meninggalkan urusannya, dan perkumpulan.
    Bagi perkumpulan, wakilnya adalah siapa yang menurut anggaran dasar atau ketentuan dasar diberi wewenang bertindak untuk dan atas nama perkumpulan yang bersangkutan.
    Apabila dalam gugatan disebut orang yang tidak mempunyai kedudukan mewakili baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat, maka pihak tergugat dapat mengajukan eksepsi diskualifikatoir.

    Menganalisis Perumusan Pihak
    Dalam hal perkumpulan, perkumpulan yang berbadan hukum dapat maju sendiri atau diwakili sebagai Penggugat atau diajukan sebagai Tergugat karena dianggap cakap melakukan cakap melakukan perbuatan hukum (bekwaam). Sedangkan perkumpulan yang bukan badan hukum harus diwakili karena dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum (Onbekwaam).

    Menganalisis Pokok Perkara
           1. Prestasi sudah Opeisbaar
    Salah satu syarat agar suatu gugatan berhasil adalah gugatan diajukan tepat pada waktunya. Dalam menganalisis gugatan, maka tergugat juga harus menganalisis apakah gugatan yang diajukan tersebut sudah saatnya untuk diajukan. Misalnya debitor wajib membayar utangnya pada tanggal 1 Desember, baru tanggal 27 Agustus sudah digugat oleh kreditor untuk membayar utangnya. Dalam hal ini tergugat dapat mengajukan eksepsi dilatoir.
            2. Gugatan belumVerjaar
    Verjaaring (lewat waktu, daluarsa) dikenal dalam hukum perdata barat (Pasal 1963, 1967, 1968 KUH Perdata), namun tidak dikenal dalam hukum perdata adat. Apabila gugatan diajukan setelah terjadinya daluarsa, maka gugatan dapat mengajukan eksepsi peremptoir.
            3. Res Judicata
    Satu perkara tidak boleh digugat dua kali. Apabila gugatan diajukan untuk perkara yang sudah pernah diajukan dan diadili oleh Pengadilan, maka tergugat dapat mengajukan eksepsi peremptoir.
            4. Gugatan Beralasan
    Menurut Hukum Acara Perdata, agar berhasil gugatan harus didukung oleh peristiwa yang diuraikan dalam bagian fundamentum petendi untuk mendukung pettitum. Apabila dalam fundamentum petendi tidak ada uraian peristiwa namun tidak mendukung petitum, maka tergugat dapat mengajukan eksepsi obscur libel.


    Sumber: 
    1.  Herzieni Indonesisch Reglement (H.I.R).
    2.  KUHPerdata.
    3.  RBg.



    STANDAR PROSEDUR PENDAFTARAN GUGATAN DAN PERMOHONAN DI PENGADILAN NEGERI (RA)

    GUGATAN
    1. Persiapkan Print Out Gugatan (hardcopy) sebanyak lebih kurang 6 rangkap.
    2. Persiapkan Softcopy file Gugatan dalam Flashdisk / CD.
    3. Persiapkan fotocopy Kartu Advokat dan BAS (Berita Acara Sumpah) Lawyer /Advokat yang namanya ada disurat Kuasa sebanyak 3 rangkap.
    4. Surat Kuasa di fotocopy sebanyak 3 rangkap.
    5. Persiapkan uang Panjar Pendaftaran Gugatan.
    6. Datang sepagi mungkin ke Pengadilan tempat Gugatan akan didaftarkan (Jam 9:00 WIB).
    7. Daftarkan Surat Kuasa ke Panitera Bagian Hukum berserta fotocopy Kartu Advokat dan BAS (Berita Acara Sumpah) Lawyer/Advokat.
    8. Setelah Surat Kuasa terdaftar, lanjut Daftarkan Gugatan ke Panitera Bagian Perdata.
    9. Setelah Kelengkapan Gugatan diperiksa oleh Petugas bagian Pendaftaran, maka selanjutnya akan diberikan SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar).
    10. Membawa SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) yang sudah diisi nominal biaya untuk menyetor ke Bank yang di tunjuk oleh Pengadilan tersebut.
    11. Serahkan kembali bukti Pembayaran dari Bank ke Petugas Pendaftaran, lalu akan dicatatkan kedalam buku Aganda Perkara dipengadilan dan diberikan Nomor Perkara terhadap Gugatan yang telah diajukan.
    12. Selanjutnya Petugas Pendaftaran menyerahkan lembar SKUM asli dan Bukti Pembayaran SKUM asli dari Bank kepada Kita menerangkan Telah dibayar “LUNAS”, beserta 1 rangkap fotocopy Gugatan yang telah diberikan Nomor Pendaftaran Perkara tersebut.
    13. Apabila wilayah hukum kantor Advokat tidak sama-sama dalam wilayah administrasi pengadilan yang memeriksa Gugatan, maka akan diberitahukan Pemanggilan Sidang akan dilakukan melalui Delegasi ke Pengadilan Negeri yang berada diwilayah hukum kantor Advokat tersebut untuk disampaikan adanya pemberitahuan Panggilan Sidang tersebut.  
    Note: Untuk Gugatan Perceraian bukti-bukti yang akan dipakai dalam Gugatan terlebih dahulu haruslah sudah di NASEGEL kantor Pos untuk dapat diajukan bersamaan dalam berkas Pendaftara Gugatan, serta dalam hal ini perlu diingat juga bahwa Kartu Keluarga diwajibkan sebagai salah satu syarat Bukti dalam Gugatan Perceraian.


    PERMOHONAN
    1.  Persiapkan Print Out Permohonan (hardcopy) sebanyak 3 rangkap.
    2. Persiapkan Softcopy file Permohonan dalam Flashdisk / CD.
    3. Persiapkan Semua bukti-bukti yang akan dipakai dalam Permohonan yang telah di NASEGEL kantor Pos untuk diajukan bersamaan dalam berkas Pendaftara Permohonan. (Kartu Keluarga diwajibkan sebagai Bukti dalam suatu Permohonan).
    4.  Berikan Nomor / Kode Bukti setiap bukti-bukti yang akan diajukan.
    5. Persiapkan Daftar Bukti sesuai Bukti-bukti yang telah dipersiapkan.
    6. Persiapkan fotocopy Kartu Advokat dan BAS (Berita Acara Sumpah) Lowyer/Advokat yang namanya ada disurat Kuasa sebanyak 3 rangkap.
    7. Surat Kuasa di fotocopy sebanyak 3 rangkap.
    8. Persiapkan uang Panjar Pendaftaran Permohonan.
    9. Datang sepagi mungkin ke Pengadilan tempat Permohonan akan didaftarkan (Jam 9:00 WIB).
    10. Daftarkan Surat Kuasa ke Panitera Bagian Hukum berserta fotocopy Kartu Advokat dan BAS (Berita Acara Sumpah) Lawyer/Advokat.
    11. Setelah Surat Kuasa terdaftar, lanjut Daftarkan Permohonan ke Panitera Bagian Perdata.
    12. Setelah Kelengkapan Permohonan diperiksa oleh Petugas bagian Pendaftaran, maka selanjutnya akan diberikan SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar).
    13. Membawa SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) yang sudah diisi nominal biaya untuk menyetor ke Bank yang di tunjuk oleh Pengadilan tersebut.
    14. Serahkan kembali bukti Pembayaran dari Bank ke Petugas Pendaftaran, lalu akan dicatatkan kedalam buku Aganda Perkara dipengadilan dan diberikan Nomor Perkara terhadap Permohonan yang telah diajukan.
    15. Selanjutnya Petugas Pendaftaran menyerahkan lembar SKUM asli dan Bukti Pembayaran SKUM asli dari Bank kepada Kita menerangkan Telah dibayar “LUNAS”, beserta 1 rangkap fotocopy Permohonan yang telah diberikan Nomor Pendaftaran Perkara tersebut.
    16. Apabila wilayah hukum kantor Advokat tidak sama-sama dalam wilayah administrasi pengadilan yang memeriksa Permohonan, maka akan diberitahukan Pemanggilan Sidang akan dilakukan melalui Delegasi ke Pengadilan Negeri yang berada diwilayah hukum kantor Advokat tersebut untuk disampaikan adanya pemberitahuan Panggilan Sidang tersebut. 

    Sumber:
    Research di Pengadilan Negeri. 




    USIA DEWASA (GB)

    Pasal 45 KUHP:
    “anak yang belum dewasa apabila seseorang tersebut belum berumur 16 tahun.”

    UU Nomor 23 tahun 2002 juncto UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak:
    “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

    Pasal 1 angka 20 UU Nomor 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan:
    “anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 tahun.”

    Pasal 330 ayat (1) KUHPerdata:
    “seorang belum dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya belum genap 21 tahun, kecuali seseorang tersebut telah menikah sebelum umur 21 tahun/”

    Konvensi Hak-hak Anak diratifikasi dengan Keppres Nomor 36 tahun 1990:
    “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.”

    UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan:
    “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”

    UU Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak:
    “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”

    UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan:
    Usia anak adalah belum berusia 18 tahun.

    UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM:
    Usia anak adalah berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

    UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak:
    Usia anak adalah belum berusia 18 tahun dan belum kawin.

    Perbedaan Batasan Usia Cakap Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan

    Berapakah usia cakap hukum? Mengingat usia dewasa dalam berbagai UU di Indonesia berbeda-beda? Di BW usia dewasa 21 tahun, UU Perlindungan Anak, usia 18 tidak dikatakan anak-anak lagi, dan berbagai macam UU lainnya.
    Jawaban:
    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang sama, dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 27 Desember 2011.
    Intisari:
    Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun.

    Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.
    Ulasan:
    Ketidakseragaman batasan usia dewasa atau batasan usia anak pada berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia memang kerap menimbulkan pertanyaan mengenai batasan yang mana yang seharusnya digunakan. Berikut di bawah ini beberapa pengaturan batasan usia anak dan dewasa menurut peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, yang juga kami sarikan dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan NLRP.

    Tabel 1: Umur Anak/belum dewasa

    Dasar Hukum  Pasal
    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 
    Pasal 45
    Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:.... dstnya
    Namun R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 61) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan “belum dewasa” ialah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang dengan dewasa.

    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
    Pasal 47
    Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang belum mencapai 18 tahun.

    Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
    Pasal 1 angka 26
     Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun

    Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
    Pasal 1 angka 8
    Anak didik pemasyarakatan adalah:
    a. Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
    b. Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
    c. Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

    Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 
    Pasal 1 angka 3, angka 4, dan angka 5
    • Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
    • Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
    • Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

    Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 
    Pasal 1 angka 5
    Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

    Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014
    Pasal 1 angka 1
    Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

    Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
    Pasal 1 angka 4
    Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

    Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
    Pasal 4 huruf h
    Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.

    Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
    Pasal 1 angka 5
    Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

    Tabel 2: Umur Dewasa/Belum Dewasa

    Dasar Hukum  Pasal
    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)           
    Pasal 33
    Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.

    Kompilasi Hukum Islam         
    Pasal 98 ayat (1)
    Batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

    SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977 (“SK Mendagri 1977”)           
    Mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam:
    a.  Dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut Pemilu;
    b. Dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur 18 tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan yang baru;
    c. Dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum. 
    SK Mendagri 1977 ini dipergunakan sebagai rujukan pertimbangan hakim dalam Penetapan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 891/Pdt.P/2013/PN Kpj. 
    Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun. Ketidakseragaman ini juga kita temui dalam berbagai putusan hakim yang contohnya kami kutip dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan NLRP berikut ini:
    ·         Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 96/1973/PN.Plg tanggal 24 Juli 1974 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang No. 41/1975/PT.PERDATA tanggal 14 Agustus 1975 (hal. 143), dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberi nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 21 tahun. Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa seseorang yang belum berumur 21 tahun dianggap masih di bawah umur atau belum dewasa sehingga ayahnya berkewajiban untuk menafkahinya sampai anak tersebut berumur 21 tahun, suatu kondisi di mana anak tersebut telah dewasa, dan karenanya telah mampu bertanggung jawab penuh dan menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum.
    Dalam kasasi di Mahkamah Agung, dengan Putusan MA RI No.477/K/ Sip./1976 tanggal 2 November 1976, majelis hakim membatalkan putusan pengadilan tinggi dan mengadili sendiri, di mana dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberian nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 18 tahun. Majelis hakim berpendapat bahwa batasan umur anak yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian ialah 18 tahun, bukan 21 Tahun. Dengan demikian, dalam umur 18 tahun, seseorang telah dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan karenanya menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum. Keputusan ini tepat, mengingat Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa seseorang yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian adalah yang belum berumur 18 tahun.
    ·           Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 1 15/Pdt.P/2009/PN. Jaktim Tanggal 17 Maret 2009 (hal. 145). Hakim menggunakan pertimbangan bahwa batasan umur dewasa seseorang untuk cakap bertindak secara hukum mengacu pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan mendasarkan pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menunjukkan bahwa hakim berpendapat batasan umur yang digunakan sebagai parameter untuk menentukan kecakapan untuk berbuat dalam hukum adalah telah berumur 18 tahun.
    Bahkan di antara para hakim pun belum ada keseragaman dalam menerapkan batasan usia dewasa. Beberapa artikel berikut yang menunjukkan ketidakseragaman batasan usia dewasa dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dapat Anda simak juga:
    1.    Meski Sudah Menikah, Usia 18 Tahun Diperlakukan Sebagai Anak.
    2.    Ekonomi Syariah Hanya Buat yang Dewasa.
    3.    Anak yang Belum Dewasa Tidak Memiliki Legal Standing.
    4.    Perlu Harmonisasi Peraturan Batas Usia Anak.
    5.    Masalah Hukum Pembatasan Usia Dalam Undang-Undang.
    6.    Awal Kemandirian Seorang Wanita.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
    2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    4. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
    5. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
    6. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014;
    7. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
    8. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;
    9. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
    10. Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
    11. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
    12. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991);
    13. SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977.
    Referensi:
    Penetapan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 891/Pdt.P/2013/PN Kpj.